KETIKA CALON ORANG BAIK BERTANYA PADA DIRINYA-SENDIRI

Menjelang lima menit sebelum tepat jam 10 pagi. Pemuda lusuh dengan rokok di tangan, memusatkan pikirannya terbang melintasi apa yang terlintas. Ibarat orang berharta ia sedang bertamasya menikmati kekayaannya, walau hanya sebatas pengembaraan imajinasi pengalaman. Terkadang rasa bangga muncul menyelinap saat mendapati dirinya sudah semester tua. Tak dipungkiri pula penyesalan hinggap bersama gemuruh pesta saat kawannya sudah berpose sedemikian rupa mamakai toga. Tapi, apapun keadaannya sekarang ia tak boleh lama-lama menikmati penyesalan, begitulah ia menyakinkan dirinya sendiri.
Sejenak, ia teringat pertanyaan kawan akrab dalam menghabiskan malam. Kamu ingin menjadi apa?. Dengan enteng jawabannya, aku ingin menjadi orang baik. Hahaha, mendengar jawaban yang mungkin agak lucu baginya, bahkan mungkin terlihat konyol. Ia tak mengerti, heran, dan masih menerka apa yang menjadikan temannya tertawa. Saat ia mau bertanya tentang ihwal keheranannya, belum lagi keluar pertanyaan yang sudah diujung lidah tiba-tiba keluar dari mulut temannya. Masak kuliah tinggi-tinggi, serta lama pula hanya mau jadi orang baik. Mbok jadi presiden, pegawai negri, atau apalah yang terlihat agak elit gitu, timpal teman pemuda.
Oh, itu rupanya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam. Tampaknya ia cukup serius ingin mengutarakan alasan argumentatif mengapa dirinnya ingin menjadi orang baik. Seolah ingin menunjukkan kuwalitas dirinya sebagai mahasiswa penghabisan (mahasiswa yang lulusnya agak lama). Ia memulai pembicaraan dengan argumentasi yang menurut dirinya layak.
Begini kawan, ucapnya. Untuk menjadi seorang yang baik itu bukan sesuatu yang mustahil, tetapi tidak semudah menjadi presiden, pengawai negri, dan entah profesi apalagi yang terlihat mentereng di hadapan kita. Tidakkah terlintas dalam pikiranmu bahwa menjadi Presiden modal yang diperlukan hanyalah menjadi bagian/anggota dari partai politik, itu saja tidak ada yang lain. Jika modal utama seperti itu sudah digenggam tinggal langkah kedua, sering-seringlah muncul di layar televisi, bisa juga nongol di media seperti koran nasional, maupun local, dan jangan lupa kalau berbicara bawalah  nama “rakyat” atau “atas nama rakyat”sebagai bumbu pelengkap agar tampak begitu menyakinkan.
Oh begitu ya!. Sang teman merespon. Entah orang itu percaya atau tidak terhadap alasan pemuda itu. Kemudian, temannya melanjutkan. Kamu tahu dari mana kok sepertinya menjadi presiden itu sangat mudah?
Baiklah, tolong disimak dengan seksama apa yang ingin kusampaikan kepadamu, seolah omongan pemuda itu penting dan layak untuk didengarkan. Pertama, walaupun manusia sudah membangun institusi pendidikan secara formal namun, pengetahuan dan pembelajaran yang berbasis pengalaman jauh lebih membekas dalam setiap benak manusia. mengambil pelajaran atau belajar dari pengalaman sehari-hari merupakan tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
 Oleh karena itulah, kesimpulan yang kudapat dari pengalaman tentang mudahnya menjadi seorang presiden adalah fakta yang sulit untuk ditolak. Tidakkah kau lihat dan rasakan belakangan ini, bagaimana pertarungan untuk mendapat singgasana kepresidenan bukanlah atas dasar kepribadian, prilaku, dan andil apa yang telah diwariskan kepada sesama atau rakyat jika ia melalui karir politik untuk sebuah kemakmuran. Melainkan sebuah panggung sandiwara yang mereka rekayasa untuk membohongi rakyat. Kedua, tidakkah kau lihat potensi yang dimiliki bangsa kita bahwa terlalu banyak untuk mencari orang baik di Negri ini. Tetapi melalui parpol kita tidak diberi kebebasan untuk menentukan siapa yang pantas untuk memimpin Negri ini. Kita hanya menjadi kelas kedua setelah parpol, memilih pilihan parpol.
Begitu pula menjadi pegawai negri, sangatlah mudah dan yakinkanlah dirimu bahwa menjadi pegawai negri jauh lebih mudah dari yang pertama. Sudah menjadi cerita umum di Negri yang penduduknya dari sabang sampai merauke, istilah membeli sampai ratusan juta menjadi hal yang biasa. Bahkan merupakan suatu kebanggaan jika seseorang bisa membayar uang tebusan sebesar itu. Anehnya lagi, diluar itu mereka masih harus mengeluarkan uang sebagai tanda terimakasih kepada orang yang memberi informasi atau jalur yang menyimpang seperti itu. Sejurus kemudian pemuda itu memberi isyarat bahwa apa yang disampaikan sudah selesai dengan mendongakkan kepala.
Temannya seperti terhipnotis, entah dia memahami atau tidak petanda sang pemuda. Akan tetapi melihat pemuda itu melanjutkan hisapan rokoknya lagi ia pun paham bahwa dirinya diberi kesempatan untuk melanjutkan perbincangannya lagi. Ia pun melanjutkan bagaimana dengan orang “baik” seperti apa yang kamu inginkan. Apa susahnya menjadi orang baik, kok seolah-olah menjadi orang baik lebih sulit daripada menjadi presiden maupun pengawai negri?.
Rokok ditangan sudah hampir habis, sebelum menjawab pertanyaan itu ia kembali mengambil satu batang lagi dari kotak-rokok yang tak jauh di depannya. Sembari menyalakan korek ia pun menjawab, baik saya akan menjawab. Menjadi orang baik tidaklah semudah menjadi presiden maupun pegawai negri sebagaimana saya sampaikan di atas. Bahkan keruwetan pertama adalah mendifinisikan dan menentukan kompetensi apa saja yang harus dimiliki untuk bisa menyandang sebagai “orang baik”. Hanya saja, betapapun sulitnya untuk memformulasikan orang baik tetap ada kemungkinan untuk memahaminya dari petunjuk sang Nabi yang sudah menjadi pengetahuan umum dikalangan masyarakat.Petunjuk itu berbunyi “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”.
Pemuda itu terlihat serius, bahkan tak memberikan ruang untuk disela dalam pembicaraannya. Kepulan asap menghiasi ruangan kecil nan nampak indah seperti awan berarak kesana kemari, terlebih sisa asap naik turun mengikuti gerakan mulutnya menambah semangat suasana obrolan. Sudah lama ia berbicara, terlihat pula sudah kehabisan bahan untuk menjelaskan siapa yang layak menyandang sebagai “orang baik”. Temannya pun agak terlihat bosan mendengar celotehan yang tak kunjung mengerucut pada kesimpulan. Ada semacam temuan bahwa temannya tidak dapat memahami secara keseluruhan dari apa yang dijelaskan, mungkin juga ia sudah lama tidak mendengarkan penjelasan yang dianggapnya tidak dapat menjelaskan secara nyata siapa orang baik itu.
Suasana semakin lama semakin sunyi dan tak ada komunikasi di antara mereka. Pemuda itu menghentikan penjelasannya, menungggu sambil berharap ada tanggapan atas apa yang sudah dijelaskan. Di antara kesunyian itu, mereka sempatkan minum kopi yang sudah lama tak disentuh, kedua buah bibir itu semakin terlihat mengkilat menandakan bahwa mereka siap ngobrol lagi yang sempat terpotong akibat kehilangan pelumas. Benar saja, tak berapa lama kemudian temanya mengajukan protes. Maaf kawan, penjelasannmu memang terlihat sangat bagus, kaitan antara politik, agama, dan lain-lain sudah kamu jelaskan. Terus terang saya agak kagum atas penjelasanmu tetapi, tak bisakah engkau menyederhanakan sehingga aku dapat memahaminya. Saya rasa engkau pun tahu kalau diriku bukanlah seperti dirimu yang dapat menikmati pendidikan sampai perguruan tinggi, sebab itulah kekagumanku atas penjelasanmu didasari ke-tidaktahuanku. Jika boleh mempunyai saran, maka tolong jelaskan dengan bahasa sederhana dan berilah contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Pemuda itu termenung, dia mulai menyadari bahwa dirinya tak sepandai yang ia sangka selama ini. Ia mulai merasakan dirinya tak dapat mengenal lingkungannya, tak dapat memahami dengan siapa ia sedang berbicara, dan apa tujuan dari pengetahuan yang dimiliki. Ia pun mulai melihat lingkungan kampus yang sudah membentuk dirinya, kebiasaan-kebiasaan atau aktifitas yang mendukung pembentukan pribadinya. Pikirannya sudah melesat jauh entah kemana bahkan ia sudah lupa bahwa temannya menunggu jawaban darinya. Ke-tidak-sabaran sudah nampak dari gerak-badan sehingga, temannya memutuskan untuk memengang bagian anggota tubuh pemuda itu sambil berucap, bagaimana kawan?.
Ia pun tersadar bahwa lelaki yang tak jauh darinya menunggu sebuah jawaban. Dengan sedikit refleksi tadi, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan penjelasannya. Maaf kawan, mungkin sedikit bekal untuk kita semua, tidak hanya untukmu, kiranya kita perlu memahami dan mengamalkan apa yang saya sampaikan tadi, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi se-samanya” sedangkan, dalam wilayah oprasional mungkin bisa kita simpulkan bahwa “ orang yang mampu menempatkan dirinya dalam kemanfaatan dimana pun ia berada, baik dalam profesi maupun dilingkungan masayarakatnya”. Itu saja yang perlu kita lakukan sekarang.
Pemuda itu menyadari bahwa semakin banyak ia berbicara untuk mejelaskan semakin banyak pula kata-katanya yang tidak akan dimengerti. Dan ia semakin yakin karena dirinya belum menjadi orang baik, maka apa-pun yang dikatakan tidak akan membuat orang lain mengerti. Satu-satunya kepercayaan yang ia miliki sekarang adalah bahwa berbuat lebih baik dari sekedar berbicara.
Mereka mengakhiri obrolan itu dengan sedikit kecewa, yang merasa lebih tahu tak dapat menyakinkan orang yang dianggapnya tak lebih pintar dari dirinya, sedangakan yang dianggap tak lebih pintar kecewa karena tak mendapat keterangan yang dapat menyakinkan dirinya bahwa orang baik seperti si A,B,D dan lainnya.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Click Here