M. Qutub |
Sebelum merambah pembahasan terkait diatas. Bagi kita, kiranya kedua nama
diatas sudah tidak asing lagi disebut sebagai manusia penghias kontroversi,
mereka setidaknya pernah membuat telinga para pengkafir panas, bagaimana tidak
cerita Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat karena berseberangan dengan
pandangan para Walisongo dalam menafsirkan Islam justru malah mudah
mempengaruhi orang-orang disekitarnya untuk mengikuti ajarannya yang sangat
nyentrik, hingga tak ayal para ulama sekelas Walisongo pun ikut terjun langsung
menghadapi ulah sang maestro Sufi dari tanah jawa ini.
Pun demikian yang terjadi pada seorang tokoh cendikiawan Muslim modern
Nurkholis Madjid (Cak Nur), dilahirkan dari lingkungan santri justru tidak
menyurutkannya untuk membawa nafas baru bagi dinamika intelektual keislaman.
Ide-ide pembaharuannya yang dimulai tahun 70an juga malah dikecam oleh
orang-orang sok “suci” yang mengatasnamakan agama hingga beliau di caci maki
dan dikafirkan.
Lalu apa sih yang membuat keduanya menjadi hujatan banyak pihak??? Menurut
hemat penulis hanya orang yang kiranya belum pernah memahami secara detail saja
alur ajaran atau pimikiran dari keduanya, artinya subjektifitas mereka dalam
menilai seseorang sangat tidak mendasar, cobalah baca buku-bukunya agar kita
tahu apa yang dimaksudkan oleh kedua tokoh ini. Pada akhirnya penulis mengutip
syi’ir Gus Dur dalam sholawatnya yang berbunyi:
Akeh kang apal Qur’an
Haditse …. (banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya)
Seneng ngafirke marang
liyane …. (senang mengkafirkan orang lain)
Kafire dewe dak
digatekke …. (kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati
akale …. (jika masih kotor hati dan akalnya)
Baiklah, kali ini
penulis masuk dalam kajian sufistik yang ditawarkan kedua tokoh ini yang
mungkin tidak secara utuh atau terkupas tuntas semuanya, namun demikian penulis
hanya mengambil sebagian saja dari ajaran dan pimikiran mereka mengenai
sufistik, semoga tulisan ini dapat mewakili seluruhnya.
Bagi Cak Nur dalam
bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban, mistik (sufi) adalah pengalaman
keruhanian (mistis) pribadi seseorang untuk mengenal Tuhan lebih dalam.
Pengalaman esoteris (batin atau mistis) seseorang sangat mustahil
dikomunikasikan kepada orang lain, karena ia berada diluar kemampuan rasio
untuk menggambarkannya, jadi pada hakikatnya hanya bisa dirasakan ketika
seseorang mengalaminya sendiri. Misalnya, kita tidak bisa menjelaskan rasa
manisnya gula jika kita tidak pernah mencicipinya sendiri.
Sedangkan pengalaman
esoteris tertinggi bagi seorang sufi biasanya dapat disebut dengan keadaan
ekstase yaitu suatu keadaan yang memabukkan karena minuman kebenaran (al-haqq)
yang oleh mereka khamar atau minuman keras tersebut dapat dikiaskan dengan
lafadz lâ ilâha illâ Llâh. Maka, jika peristiwa ini dipaksakan, yang terjadi
adalah sikap eksentris yang sangat tidak mudah dipahami kaum awam dan hanya
dapat dimengerti oleh para kaum sufi sendiri. Menurut Syekh Siti Jenar kondisi
ini dapat diberi istilah “awang uwung” (Ada tetapi Tidak Ada, Tidak Ada tetapi
Ada) yang keberadaannya hanya mungkin disebut dalam Al-Quran “Laisa Kamitslihi
Syaiun” artinya “tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu”.
Manshur al-Hallaj dan
Syek Siti Jenar yang merupakan sama-sama penganut paham kesufian Wahdatul Wujud
(Manunggaling Kawulo Gusti) dan juga sama-sama meninggal setelah dipancung oleh
penguasa kala itu karena mengajarkan ilmu yang dianggap menyesatkan umat. Syekh
Siti Jenar mengaku dirinya dengan kata “Aku adalah Allah” sedangkan Manshur
Al-Hallaj melalui statementnya “Ana Al-Haqq”, mereka adalah contoh para sufi
yang eksentris atau bertingkah diluar garis semestinya. Sikap eksentris
bukanlah satu-satunya jalan untuk menemukan kebahagiaan abadi dan bagi kalangan
orang-orang awam atau pemegang ajaran standar (syari’ah), hal demikian adalah
suatu sikap yang tidak perlu dilakukan oleh seorang hamba Tuhan tanpa didampingi
guru (mursyid) yang telah diakui kewenangannya.
Sejatinya kebanyakan
para sufi dalam berargumen mengenai pengalaman mistik ini, mereka menggunakan
teks-teks Al-Qur’an secara ta’wil yang disesuaikan dengan pengalaman mistis
mereka dan menafikan atau menolak pemahaman lahiriyah teks seperti yang
digunakan oleh ulama syari’ah, disinilah letaknya diantara mereka tidak
mempunyai titik temu dalam pemahamannya, jadi sangat wajar jika mereka
berseberangan, termasuk apa yang terjadi antara pergumulan Syekh Siti Jenar
dengan para Walisongo.
Berbeda seperti Cak
Nur yang memahami mistis masih sebatas teori walaupun ada kemungkinan beliau
pernah mengalaminya sendiri (tidak sampai eksentrik) karena kajian tentang
sufistik yang beliau tawarkan dalam buku-bukunya sangat mendalam sekali. Syekh
Siti Jenar sebagai pelaku eksentris memaparkan pemahamannya tentang sufistik
melalui ajaran beliau Sasahidan yang kemudian terkenal dengan Manunggaling
Kawulo Gusti yang direlevansikan dengan ajaran al-Hulul, al-Ittihad, Wahdatul
Wujud ataupun disebut juga panteistik, yaitu suatu bentuk ajaran yang memahami
Tuhan sebagai Dzat Wajibul Wujud, karena Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai
sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan, sesuai yang disabdakan Rasul: “Tuhan
menciptakan Adam dalam bentuknya”. Dari pemikiran hadis ini dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam diri Adam terdapat bentuk Tuhan dan dalam diri Tuhan
terdapat pula bentuk Adam.
Atas dasar inilah
kemudian penyatuan antara manusia dan Tuhan (Al-Ahadiyah) bisa terjadi. Tuhan
dapat memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya,
namun ketika hal itu terjadi seorang sufi harus terlebih dahulu menghancurkan
sifat-sifat kemanusiaannya sedang dalam dirinya yang tersisa adalah sifat-sifat
ketuhanan, dan ketika hal itu terlaksana maka sejatinya Tuhanlah yang mengambil
kendali (bartajalli) dari diri seorang sufi tersebut sehingga yang terjadi bagi
kaum syariah adalah sikap eksentris atau bertingkah aneh dari sufi yang
bersangkutan. Perilaku eksentris para sufi ini biasanya bersifat sesaat
(transitory) dan tanpa disengaja tapi sangat berpengaruh terhadap pembentukan
budi pekerti yang bersifat abadi. Hal inilah yang kemudian disebut Allah bahwa
pengalaman mistis dapat menumbuhkan rasa bahagia tak terhingga dan menentramkan
jiwa yang mendalam.
Pada kesimpulannya,
tingka laku diluar garis kemanusiaan yang dilakukan Syekh Siti Jenar adalah
suatu pemahaman yang tidak dapat diterima oleh akal sehat kita sebagai kaum
awam yang nota bene masih berada pada tingkat pemahaman syariah, namun beliau
Syekh Siti Jenar menurut hemat penulis bukanlah untuk dihujat, karena pada
dasarnya kita belum pernah merasakan apa yang beliau alami ketika harus dipaksa
menganggap dirinya sebagai Tuhan. Pengalaman mistis itu penting bagi
pembentukan pribadi yang luhur, seperti halnya dalam sholat harus khusyu,
khusyu dalam sholat itu bukan tingkatan syariah karena syariah hanya sebatas
persoalan fiqhiyah belaka seperti wajib memenuhi rukun dan syarat sholat agar
sah sholatnya, namun kesahan sholat belum tentu diterima, lebih dari itu khusyu
dalam sholat adalah pengalaman mistis (bertasawuf) antara seseorang yang
melaksanakan sholat dengan Tuhannya, dan itu harus kita upayakan agar sholat
kita diterima. Disinilah yang harus kita ambil hikmahnya bahwa antara syariah
dan tasawuf tidak harus berseberangan tetapi saling melengkapi satu sama lain.
Penulis: M. Qutub. Kader HMI MPO Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
0 komentar:
Posting Komentar