Realitas adalah sebuah
waktu dan tempat yang melingkupi makhluk yang berada dalam cengkramannya.
Realitas adalah sebuah keadaan yang harus kita hadapi, realitas adalah apa
adanya, itulah realitas yang selalu polos dengan penampilannya. Semua makhluk
tanpa terkecuali selalu berdialektika dengan realitasnya, apapun bentuk
dialektikanya baik dialektika yang saling menegasikan ataupun dialektika yang
saling melengkapi dengan lingkungannya (baca: saling mendukung). Dan manusia
sebagai salah satu makhluk yang berdialektika dengan realitasnya sudah
sewajarnya mampu untuk mengukur realitas yang ada dihadapannya, apakah itu
sesuai dengan keinginannya ataupun itu menyimpang dari keinginannya sebagi
manusia.
Manusia yang
diidentifikasi sebagai makhluk rasional yang mampu menggunakan akal ataupun
kecerdasannya untuk mempelajari kemudian paham akan realitas terkadang
dibenturkan dengan realitas tersebut, dan tentu saja yang benturan tersebut
terjadi bukan hanya benturan secara fisik, tapi bias berbentuk psikis ataupun
pengetahuan yang selama beberapa waktu telah didapatkannya. Sepemahaman saya,
realitas tidak pernah berjalan secara linier dengan logika matematiknya dalam
artian tidak selamanya jawaban realitas akan seperti jawaban matematika dasar
2+2= 4. Tetapi 4 sebagai sebuah hasil dari beberapa nilai yang ditambahkan bias
berubah menjadi 5,6,8 bahkan 100 tergantung pemenang[1] yang
menilainya.
Tentu kata pemenang di
atas menggambarkan adanya individu atau beberapa yang mampu memangkan realitas
untuk sesuai dengan keinginannya. Hal ini tidak dapat kita tolak karena memang
seperti itu adanya. Dan sudah menjadi kebiasan alam untuk setiap zamannya menampilkan
pemenang zamannya, akan tetapi sang pemenang akan menjadi tidak akrab dengan
masyarakat atau lingkungannya apabila tidak dapat melihat kepentingan bersama
yang lebih luas lagi, dan sang pemenang akan menjadi duri dalam daging ketika
arah realitas di disain untuk kepentingannya sendiri dengan merusak kepentingan
bersama yang menjadi idaman.
Realitas kita sekarang
yang sepakat untuk berkebangsaan dan berkenagaraan Indonesia tentu akan
prihatin dengan kondisi kenegaraan kita saat ini, dan tentu keprihatinan yang
mendalam ini terlalu menyakitkan bila terus dipelihara dalam hati setiap mereka
yang selalu mempertanyakan realitas yang tidak sesuai dengan yang mereka
harapkan. Meraka para idealis yang selalu mendambakan penghuni kepulauan
Nusantara dihuni para malaikat, mereka para idealis yang selalu mendambakan
kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia, mereka (para Idealis)
adalah makhluk aneh yang Tuhan turunkan untuk berfungsi sebagai
pelurus atas keegoisan manusia yang selalu mementingkan kepentingan individu
dan kelompoknya yang semakin memuakan.
Mereka idealis akan
selalu berhadap-hadapan dengan realitas head to headkarena realitas
tidak akan secara purna selesai berproses menjadi kerajaan akhiratnya Tuhan.
Akan selalu ada yang mereka pertanyakan akan realitas yang ada, mereka tidak
akan pernah terpuaskan dengan realitas yang berjalan dihadapannya, karena
mereka selalu akan mempertanyakan komponen-komponen realitas yang mereka anggap
tidak berjalan sesuai dengan yang seharunya. Mereka akan selalu mengkritisi
hokum dan institusinya apabila hokum tidak berjalan sesuai dengan yang
seharunya, begitupun dalam ranah kegiatan ekonomi, pendidikan, keagamaan dll.
Karena mereka adalah makhluk surge yang merindukan kampungnya (kerajaan
akhirat) yang mensejahterakan baik secara materiil maupun spiritual.
Sebuah dialektika
panjang akan kita hadapi bila kita dengan seenaknya mendefinisikan Idealis,
karena akan banyak mereka yang memposisikan dirinya sebagai Idealis, dan tentu
saja memeprtanyakan mereka yang mendefiniskan orang Idelais, apakah dia juga
Idealis?. Tapi, itu bukan hal penting menurutku. Karena ada hal lebih penting
yang harus dijawab, apa yang telah mereka (para Idealis) lakukan untuk merubah
realitasnya. Tentu sebuah pertanyaan yang tidak selesai hanya dijawab dengan
simpul kata-kata yang akan hampa tanpa representasi realitasnya (baca: bukti).
Apakah pemenang yang
menguasai realitas sekarang bukan seorang idealis?. Jawabanku, merka yang
memenangkan realitas yang mengendalikan sekarang adalah seorang ‘idealis’ juga,
karena mereka telah berjuang dengan gigihnya untuk mewujudakan realitas yang
berjalan sesuai dengan ideagagasan yang mereka yakini, dan itu
harus diapresiasi. Tetapi disinilah kita menyaksikan mereka para idealis dan
‘idealis’ pun saling bertempur untuk mewujudkan realitas yang saling mereka
perjuangkan. Dan disinilah salah satu keuntungan bangsa yang banyak mendidik
anak mudanya untuk menjadi idealis, akan terjadi inner dinamicskedinamisan
gagasan yang akan mencoba menciptakan realitas yang terbaik dan paling baik.
Frustai akan realitas atau perjuangan ‘irrasional’ makhluk duniawi.
Sondang Hutagalung
adalah aktivis mahasiswa yang baru dikenal dengan tingkahnya dengan membakar
diri di depan Istana merdeka. Perbuatan yang akan membuat kita orang awam akan
merasa ngeri bila mengimajenasikannya, dan tentu kitapun mempertanyakan
motif-motif apa saja yang dijadikan argument olehnya sehingga berani mengambil
keputusan yang tidak pernah kita pikirnan. Sebuah tindakan yang di atas rasionalalisasi
kita untuk melakukannya. Saya tahu saya makhluk rasional, tetapi belum tentu
saya mau melakukan hal seperti itu dan mungkin tidak akan.
Hanya asumsi yang
dapat saya kumpulkan bila sedikit mengikuti perkembangan berita saudara saya
Sondang Hutagalung, tingkah membakar diri di anggap oleh media sebagai sebuah
bentuk frustasi akan realitas yang dia hadapi dalam konteks kehidupan
berkebangsaan dan berkenegaraan kita. Bagaimana tidak, dia yang selalu aktif
menyuarakan penuntasan kasus munir tidak pernah mendapatkan jawabannya, dia
yang selalu menggugat kemiskinan masih menyaksikan rakyat Nusantara bermiskin
ria dengan di fasilitasi oleh negaranya. Tentu itu semua akan bertarung dalam
pikirannya. Dan tidak elok kata frustasi kita samakan dengan mereka yang
frustasi akan kehidupannya sendiri sehingga nekat bunuh diri. Tapi dia (Sondang
Hutagalung) kalaupun kita sebut frustasi, dia tidak memikirkan dirinya sendiri
tetapi memikirkan lingkungannya, memikirkan rakyat Indonesia, memikirkan
kesejahteraannya yang kitapun yang dipikirkan olehnya belum tentu memikirkan
diri kita sendiri apalagi beraksi untuk menuntuk hak kita. Luar biasa!!!!!!!!!!
Tingkah membakar diri
tidaklah dapat kita terima sebagai makhluk yang rasional, lalu apakah kita
menempatkan posisi Sondang sebagai seorang yang irrasional atau manusia yang
tidak bepikir dengan akibat yang akan dia terima apabila dia membakar diri???.
Tentu pikiran tersebut adalah perbuatan dzalim yang kita lakukan terhadap dia
(Sondang). Yang mungkin catatan kecil yang saya tuliskan untuknya adalah
pikiran dia ataupun dialektika dia berada di atas kita, dan hati dia berada di
atas kita, dan pengorbanan dia berada di atas kita. Dia ingin menjadi sumbu bom
yang akan meledak yang diharapkan dengan ledakan tersebut kita yang hidup dapat
terbangun dan memperjuangkan kembali kehidupan yang kita idam-idamkan.
Setidaknya kehidupan yang mensejahterakan, kehidupan yang mencerdaskan tanpa
mengorbankan manusia satu hanya demi manusia yang lainnya.
Penulis: Kamal Mukhtar. Kader HMI MPO Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
0 komentar:
Posting Komentar