DIALKTIKA REALITAS VS EGO IDEALIS; Pembacaan Jarak Jauh Jogja-Jakarta “Sondang Hutagalung”


Realitas adalah sebuah waktu dan tempat yang melingkupi makhluk yang berada dalam cengkramannya. Realitas adalah sebuah keadaan yang harus kita hadapi, realitas adalah apa adanya, itulah realitas yang selalu polos dengan penampilannya. Semua makhluk tanpa terkecuali selalu berdialektika dengan realitasnya, apapun bentuk dialektikanya baik dialektika yang saling menegasikan ataupun dialektika yang saling melengkapi dengan lingkungannya (baca: saling mendukung). Dan manusia sebagai salah satu makhluk yang berdialektika dengan realitasnya sudah sewajarnya mampu untuk mengukur realitas yang ada dihadapannya, apakah itu sesuai dengan keinginannya ataupun itu menyimpang dari keinginannya sebagi manusia.
Manusia yang diidentifikasi sebagai makhluk rasional yang mampu menggunakan akal ataupun kecerdasannya untuk mempelajari kemudian paham akan realitas terkadang dibenturkan dengan realitas tersebut, dan tentu saja yang benturan tersebut terjadi bukan hanya benturan secara fisik, tapi bias berbentuk psikis ataupun pengetahuan yang selama beberapa waktu telah didapatkannya. Sepemahaman saya, realitas tidak pernah berjalan secara linier dengan logika matematiknya dalam artian tidak selamanya jawaban realitas akan seperti jawaban matematika dasar 2+2= 4. Tetapi 4 sebagai sebuah hasil dari beberapa nilai yang ditambahkan bias berubah menjadi 5,6,8 bahkan 100 tergantung pemenang[1] yang menilainya.
Tentu kata pemenang di atas menggambarkan adanya individu atau beberapa yang mampu memangkan realitas untuk sesuai dengan keinginannya. Hal ini tidak dapat kita tolak karena memang seperti itu adanya. Dan sudah menjadi kebiasan alam untuk setiap zamannya menampilkan pemenang zamannya, akan tetapi sang pemenang akan menjadi tidak akrab dengan masyarakat atau lingkungannya apabila tidak dapat melihat kepentingan bersama yang lebih luas lagi, dan sang pemenang akan menjadi duri dalam daging ketika arah realitas di disain untuk kepentingannya sendiri dengan merusak kepentingan bersama yang menjadi idaman.
Realitas kita sekarang yang sepakat untuk berkebangsaan dan berkenagaraan Indonesia tentu akan prihatin dengan kondisi kenegaraan kita saat ini, dan tentu keprihatinan yang mendalam ini terlalu menyakitkan bila terus dipelihara dalam hati setiap mereka yang selalu mempertanyakan realitas yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Meraka para idealis yang selalu mendambakan penghuni kepulauan Nusantara dihuni para malaikat, mereka para idealis yang selalu mendambakan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia, mereka (para Idealis) adalah  makhluk aneh yang Tuhan turunkan untuk berfungsi sebagai pelurus atas keegoisan manusia yang selalu mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya yang semakin memuakan.
Mereka idealis akan selalu berhadap-hadapan dengan realitas head to headkarena realitas tidak akan secara purna selesai berproses menjadi kerajaan akhiratnya Tuhan. Akan selalu ada yang mereka pertanyakan akan realitas yang ada, mereka tidak akan pernah terpuaskan dengan realitas yang berjalan dihadapannya, karena mereka selalu akan mempertanyakan komponen-komponen realitas yang mereka anggap tidak berjalan sesuai dengan yang seharunya. Mereka akan selalu mengkritisi hokum dan institusinya apabila hokum tidak berjalan sesuai dengan yang seharunya, begitupun dalam ranah kegiatan ekonomi, pendidikan, keagamaan dll. Karena mereka adalah makhluk surge yang merindukan kampungnya (kerajaan akhirat) yang mensejahterakan baik secara materiil maupun spiritual.
Sebuah dialektika panjang akan kita hadapi bila kita dengan seenaknya mendefinisikan Idealis, karena akan banyak mereka yang memposisikan dirinya sebagai Idealis, dan tentu saja memeprtanyakan mereka yang mendefiniskan orang Idelais, apakah dia juga Idealis?. Tapi, itu bukan hal penting menurutku. Karena ada hal lebih penting yang harus dijawab, apa yang telah mereka (para Idealis) lakukan untuk merubah realitasnya. Tentu sebuah pertanyaan yang tidak selesai hanya dijawab dengan simpul kata-kata yang akan hampa tanpa representasi realitasnya (baca: bukti).
Apakah pemenang yang menguasai realitas sekarang bukan seorang idealis?. Jawabanku, merka yang memenangkan realitas yang mengendalikan sekarang adalah seorang ‘idealis’ juga, karena mereka telah berjuang dengan gigihnya untuk mewujudakan realitas yang berjalan sesuai dengan ideagagasan yang mereka yakini, dan itu harus diapresiasi. Tetapi disinilah kita menyaksikan mereka para idealis dan ‘idealis’ pun saling bertempur untuk mewujudkan realitas yang saling mereka perjuangkan. Dan disinilah salah satu keuntungan bangsa yang banyak mendidik anak mudanya untuk menjadi idealis, akan terjadi inner dinamicskedinamisan gagasan yang akan mencoba menciptakan realitas yang terbaik dan paling baik.
Frustai akan realitas atau perjuangan ‘irrasional’ makhluk duniawi.
Sondang Hutagalung adalah aktivis mahasiswa yang baru dikenal dengan tingkahnya dengan membakar diri di depan Istana merdeka. Perbuatan yang akan membuat kita orang awam akan merasa ngeri bila mengimajenasikannya, dan tentu kitapun mempertanyakan motif-motif apa saja yang dijadikan argument olehnya sehingga berani mengambil keputusan yang tidak pernah kita pikirnan. Sebuah tindakan yang di atas rasionalalisasi kita untuk melakukannya. Saya tahu saya makhluk rasional, tetapi belum tentu saya mau melakukan hal seperti itu dan mungkin tidak akan.
Hanya asumsi yang dapat saya kumpulkan bila sedikit mengikuti perkembangan berita saudara saya Sondang Hutagalung, tingkah membakar diri di anggap oleh media sebagai sebuah bentuk frustasi akan realitas yang dia hadapi dalam konteks kehidupan berkebangsaan dan berkenegaraan kita. Bagaimana tidak, dia yang selalu aktif menyuarakan penuntasan kasus munir tidak pernah mendapatkan jawabannya, dia yang selalu menggugat kemiskinan masih menyaksikan rakyat Nusantara bermiskin ria dengan di fasilitasi oleh negaranya. Tentu itu semua akan bertarung dalam pikirannya. Dan tidak elok kata frustasi kita samakan dengan mereka yang frustasi akan kehidupannya sendiri sehingga nekat bunuh diri. Tapi dia (Sondang Hutagalung) kalaupun kita sebut frustasi, dia tidak memikirkan dirinya sendiri tetapi memikirkan lingkungannya, memikirkan rakyat Indonesia, memikirkan kesejahteraannya yang kitapun yang dipikirkan olehnya belum tentu memikirkan diri kita sendiri apalagi beraksi untuk menuntuk hak kita. Luar biasa!!!!!!!!!!
Tingkah membakar diri tidaklah dapat kita terima sebagai makhluk yang rasional, lalu apakah kita menempatkan posisi Sondang sebagai seorang yang irrasional atau manusia yang tidak bepikir dengan akibat yang akan dia terima apabila dia membakar diri???. Tentu pikiran tersebut adalah perbuatan dzalim yang kita lakukan terhadap dia (Sondang). Yang mungkin catatan kecil yang saya tuliskan untuknya adalah pikiran dia ataupun dialektika dia berada di atas kita, dan hati dia berada di atas kita, dan pengorbanan dia berada di atas kita. Dia ingin menjadi sumbu bom yang akan meledak yang diharapkan dengan ledakan tersebut kita yang hidup dapat terbangun dan memperjuangkan kembali kehidupan yang kita idam-idamkan. Setidaknya kehidupan yang mensejahterakan, kehidupan yang mencerdaskan tanpa mengorbankan manusia satu hanya demi manusia yang lainnya.
Penulis: Kamal Mukhtar. Kader HMI MPO Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

[1] Pemenang adalah mereka yang dapat mendikte realitas agar sesuai dengan keinginannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Click Here