Sejak periode awal sejarah
perkembangan islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya
telah diatur oleh Hukum Islam. Aturan-aturan ini pada esensinya adalah religius
dan terjalin inherent secara religius pula. Oleh karena itu dalam pembinaan dan
pengembangan hukum islam selaludiupayakan berdasarkan Al Qur’an sebagai wahyu
Ilahi yang terakhir diturunkan kepada manusia, yang aplikasinya sebagian besar
telah diterangkan operasionalnya oleh sunnah Rasulullah.
Al Qur’an pada mulanya diwahyukan
sebagai respon terhadap situasi masyarakat saat itu yang kemudian tumbuh dan
berkembang lebih luas lagi. Seiring dengan berkembangnya Islam keberbagai
penjuru, maka muncul pula persoalan-persoalan baru yang berbeda dengan
persoalan-persoalan yang dihadapai kaum muslimin dimasa Rasulullah. Sedangkan
Al Qur’an hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum terinci, sementara sunnah
terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulullah, maka untuk
memecahkan masalah-masalah baru, diperlukan adanya ijtihad. Hal ini disadari
betul oleh Mahmud Mohamed Taha, salah seorang intelektual progressif asal
Sudan. Taha sendiri harus menjalani hukuman mati di tiang gantungan yang
dipimpin langsung oleh Presiden Numeri. Selang 76 hari pasca eksekusi mati
tersebut, 6 April 1985, Presiden Numeri jatuh karena gelombang demontrasi
menentang tragedi intelektual yang memilukan.
Hukuman mati yang diberikan terhadap
Taha adalah karena konsep Evolusi Syariah yang dikembangkan oleh Taha dianggap
terlalu liberal dan mengancam rezim Numeri. Menurut Taha syariah harus
mengalami evolusi (tathawwur) terus-menerus seiring kemajuan tingkat kemampuan
manusia dalam pentas sejarah. Dalam gagasannya tentang evolusi syariah, dia
mengenalkan gagasan Risalah Kedua. Risalah Kedua yang dimaksud oleh Taha adalah
bahwasanya konsep penyampaian wahyu (risalah) belumlah selesai. Rasulullah SAW
memang telah meninggal, namun beliau belum merinci secara detail tetntang
ayat-ayat yang turun di mekkah. Ayat-ayat mekkah ini menurut Taha adalah
ayat-ayat dasar yang merupakan ajaran murni dan fundamental. Ayat-ayat yang
turun di mekkah ini kemudian menghapus (naskh) ayat-ayat yang
turun di Madinah. Dalam hal ini naskh bukan berarti
penghapusan yang final dan konklusif, namun ia hanya merupakan penangguhan
pemberlakuan sampai dating waktu yang sesuai, ketika waktunya tiba, maka
ayat-ayat yang ditangguhkan tersebut diberlakukan dan diterapkan.
Ayat Makkiyah itulah yang dikatakan
sebagai Risalah Islam Kedua (al-Risalah al-Tsaniyah min al-Islam), sedangkan
ayat Madaniyah dinamakan al-Risalah al-Ula fi al-Islam (Risalah Islam Pertama).
Bagi Taha, Risalah Islam Pertama (madaniyah) yang bersifat cabang dan lokal
tidak bisa digunakan untuk mengeneralisir berbagai persoalan yang kemudian
timbul di zaman kemudian. Untuk itu, sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk
kembali pada ayat makiyah yang mendedahkan masalah fundamental dan universal,
sehingga bisa digunakan sebagai landasan dalam membangun paradigma
syariah/hukum Islam kontemporer.
Gagasan yang diusung Taha merupakan bentuk
komitmennya dalam memegang teguh ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan zaman
modern sekarang. Ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat dasar yang mempunyai
standar lebih tinggi dari pada ayat-ayat cabang dan muatannya sejalan dengan
konstitusionalisme, hak asasi manusia universal, dan perdamaian universal.
Syariah modern harus didasarkan paa ayat-ayat dasar ini, sementara syariah
historis harus ditangguhkan dulu. Yang dilakukan Taha ini bukanlah menolak atau
membuang ajaran Islam, namun justru kembali kepaa semangat aslinya
Penulis: M. Muhtar Nasir. Imam HMI MPO Korkom UIN Sunan Kalijaga 2012-2013
0 komentar:
Posting Komentar