PENGKHIANATAN
TRADISI
Oleh: Cecep Jaenudin*
Berbicara tentang tradisi
memang cukup kompleks rasanya. Satu kata ini begitu luas cakrawala
pengertiannya. Ada banyak sejarah, cerita, kisah di balik kata yang satu ini.
Saat penulis mencoba mencari suatu terminologi yang general dan pas ternyata
belumlah lagi didapati. Bahan dari ensiklopedi-ensiklopedi dan literatur author
juga sama. Hanya dari kamus besar bahasa indonesia penulis dapat pengertian
tentang ini. Namun itu juga belumlah mewakili dengan definisi makna kata yang
dicari penulis.
Kamus besar bahasa indonesia
telah menggariskan makna dari kata tradisi ini. Meskipun dengan definisi yang
seadanya. Di sana tertera bahwa tradisi adalah adat kebiasaan yang dilakukan
turun temurun dan masih terus dilakukan dalam masyarakat di setiap tempat atau
suku berbeda-beda. Hal ini setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa
tradisi melakukan sebuah perjalanan panjang ke lintas generasi. Ada sebuah daya
dinamika yang terkandung didalamnya. Semakin besar daya dinamika yang dimiliki
suatu tradisi maka semakin kuat pula tradisi itu bertahan di setiap arus
zamannya. Sebab di samping ribuan tradisi yang hidup di zaman sekarang ada
ribuan juga tradisi yang telah tergusur dari arus-arus waktu.
Tradisi tidak hanya dimiliki
oleh satu individu atau satu populasi saja. Namun Setiap individu, masyarakat
dan tempat pastilah memiliki tradisinya sendiri. Terlebih di nusa tempat kita
tinggal saat ini, indonesia. Jelas negeri
ini memiliki tradisi yang begitu kaya dan majemuk di setiap
jengkal-jengkal tanahnya.
Dalam tradisi pula mestilah
terkandung nilai-nilai ajran yang ingin diwariskan kepada generasi.
Ajaran-ajaran luhur sebagai wejangan dan nasihat bagi penerusnya. Meskipun
kerap kita jumpai tradisi-tradisi yang terkesan kurang pas dengan standar
ukuran pribadi, namun tetap tradisi memiliki unsur-unsur aksiologis, etika dan
estetikanya sendiri. Di sinilah kita perlu menaruh kedewasaan untuk menyikapi
dan menerima kehadiran kemajemukannya dalam kehidupan. Kita tak bisa lantas memaksa
orang lain mengikuti standar-standar tradisi kita semata. Ada nilai-nilai lihur
lain dari kehadiran tradisi itu yang seharusnya kita kaji dan pelajari. Sebab
tidak mungkin suatu tradisi yang diwariskan itu memiliki unsur-unsur kejahatan
untuk generasinya. Setiap tradisi mestilah menghendaki yang namanya
harmonisitas dan mutualisitas dengan alam dan lingkungan. Hanya interpretasi
kita barangkali yang kerap main hakim sendiri.
Tradisi kebaikan nusantara
setidaknya telah diwariskan oleh leluhur-leluhur kita sejak zaman dahulu. Dalam
pewayangan kita mengenal lima pandawa yang begitu hebat kebaikan dan
kesatriaannya. Lima orang ini dalam mahabhrata adalah simbol dari kebaikan yang
dilawankan dengan kurawa yang notabene simbol kejahatan. Di samping itu kita
juga mengenal tokoh Sri rama dalam epik Ramayana. Sri Rama adalah simbol kebaikan sama halnya
seperti pandawa. Simbol kejahatan yang dihadapinya adalah Rahwana. Kedua
rujukan tersebut adalah tradisi kebaikan yang melintas di sungai-sungai
sejarah. Setidaknya kedua kisah tersebut telah melegenda dan menyatu dengan
kearifan lokal nusantara.
Di samping itu leluhur kita
juga telah mencatatkan tentang tradisi-tradisi mereka dalm intelektual dan
pemikiran. Ada banyak tokoh-tokoh negeri ini yang namanya masyhur sampai ke
berbagai negeri. Atau bahkan mereka yang namanya masih populer dalam sejarah
tradisi nusantara yang kita kenal sampai saat ini. Tengoklah orang-orang
seperti Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi Al-Bantani, HAMKA,
Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Soekarno, Agus Salim dan orang-orang lainnya.
Mereka adalah orang-orang pribumi nusantara yang notabene dari keluarga
sederhana yang mampu mengangkat harkat dan martabat bumi nusantara dengan
kepiawaian intelektualnya. Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi sempat menjadi
imam dan guru besar di Masjidil haram Mekkah. Bahkan Ahmad Dahlan dan Hasyim
Asy’ari juga sempat berguru padanya sewaktu berangkat ke Mekkah. Syaikh Nawawi
Al-Bantani adalah ulama sekaligus penulis jawa kenamaan. Kitab-kitabnya sampai
saat ini masih banyak dikaji di pondok-pondok pesantren seperti Safinatun Najah,
Sulam Taufik, dan lain-lain. HAMKA adalah penulis sekaligus pujangga islam
nusantara. Tafsirnya yang diberinama Al-Azhar sebanyak tiga puluh jilid
diselesaikannya selama dalam tahanan di Sukabumi. Tradisi intelektualnya
senantiasa diasah hingga banyak karya tulisan beliau yang telah dibukukan.
Tentunya masih banyak lagi intelektual-intelektual negeri ini yang telah
mengharumkan sejarah tradisi intelektual nusantara.
Dan hari ini tradisi-tradisi
elok itu sedang diuji. Saat tanah nusantara yang katanya gemah ripah lohjinawi
penuh dijejali berbagai problematika. Saat bumi yang kata seniman Rhoma Irama segala
tanaman bisa tumbuh karena saking suburnya mulai dijangkiti benalu-benalu
berdasi. Tradisi –tradisi kebaikan dan pemikiran yang semula mengawal harapan
dan cita-cita luhur negeri mulai tak ajeg dalam pijakannya. Kebaikan hanyalah
tinggal normatifitas belaka yang telah mati di teks-teks sekolah. Sementara
pemikiran dan intelektual yang seharusnya mengangkat derajat negeri justru
malah memelintirkan dan mempermainkan arah tujuan bangsa ini sekehendak nafsu
mereka.
Ada banyak mereka yang
lantang meneriakkan persatuan. Mengajak segala golongan untuk sama-sama bersatu
membangun kesejahteraan negeri. Namun setelah ditelisiki dibelakangnya hanya
kesejahteraan pribadi yang diperbuatnya. Dan bagaimana juga yang lain bisa
mempercayainya. Jika dia saja memperoleh segalanya dengan kerakusan dan
cara-cara yang kotor. Tentu kita faham bahwa sesuatu yang diawali dengan
kezhaliman maka selamanya hanya penindasan dan kesewenang-wenangan yang akan
ditorehkan.
Begitu juga dengan mereka
yang sangat intim dengan “revolusi”. Di jalan-jalan dan kolom-kolom surat kabar
begitu juga disela-sela huruf tulisannya disuarakan. Tapi saat tangan waktu
memberikannya kedudukan dan kekayaan segalanya hanya tinggal kenangan.
Perjuangan dan idealitas yang begitu dipuja dan ditempuhnya dengan deras cucur
keringat telah lebur hancur dalam kejapan mata. Sekali lagi hanya karena
kedudukan dan kekayaan.
Mereka yang muda juga tak
ubahnya. Manusia-manusia muda yang mendapat amanah sebagai agen perubahan, agen
sosial dan penerus nilai-nilai kebaikan. Mereka juga telah banyak yang terseret
arus hitam gelap iblis-iblis jahanam perusak tanah pertiwi. Jerat-jerat yang
selalu diwanti-wanti oleh Sang Nabi yaitu perempuan, kekayaan dan kedudukan telah
menjadi senjata pemandul yang sangat ampuh dalam melumpuhkan idealisme mereka.
Segala macam pengkhianatan
atas tradisi dan nilai luhur negeri ini tentu tak bisa dibiarkan. Bagamanapun
juga negeri ini tidak boleh hancur. Kan Tuhan telah menganugerahkan segalanya
di tanah ini. Meskipun anugrah dan karunia itu kini mulai absurd. Hanya nampak
gersang dan usangnya saja di bumi yang berpenduduk lebih dari dua ratus juta
jiwa ini. Negeri ini harus dan harus kembali dihijaukan. Dihidupkan kembali
tradisi kebaikan dan nilai-nilai luhur kehidupannya.
Kita yang masih mengerti dan
faham mana ynag benar dan mana yang salah. Tak hanya berdasarkan penalaran
logika tapi juga perenungan jiwa yang terdalam. Saatnya mengangkat muka dan
tubuh untuk berdiri dan berjuang. Meski kita berada dalam warna dan nama yang
berbeda. Dari kalangan dan darah manapun kita. Biarlah tak jadi soal. Kan kita telah
lebur dalam visi yang sama. Menyepuh nusantara dari benalu-benalu dan
pengkhianat-pengkhianat tradisi kebaikan dan nilai-nilai luhur yang telah
tertanam di bumi kita. Meskipun mereka dari orang terdekat kita sendiri. Kita
harus menjadi berani. Sebagaimana yang telah disabdakan kartini bahwa barang
siapa tidak berani, dia tidak bakal menang. Semua harus dimulai dengan berani.
Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia.
* Ketua di Bidang Pelatihan dan Pengembangan Intelektual HMI MPO Komfak Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Periode 2013-2014
0 komentar:
Posting Komentar