Memotret kehidupan masyarakat kekinian
layaknya nontonan layar fiksi tetapi faktual dalam ruang khayali tetapi nyata.
Mana yang real dan semu, bercampur baur, tumpang tindih, berkelindan. Silang
sengkarut itu terjadi, ketika acuan segala sesuatu hilang. Sebab terjadi
penggandaan duplikasi dari duplikat realitas. Mana yang aspal (asli tapi paslu)
dan yang asli sesungguhnya, tidak begitu jelas jeda antara keduanya. Keduanya
telah bersenyawa menyatu, dan semuanya kini menjadi komoditas. Komoditas untuk memasok
produksi realitas menjadi permainan tanda, citra dan kode dari realitas itu
sendiri. Akibatnya kehidupan menapak pada representasi dari realitas. Sejurus
itu pula realitas yang diciptakan kembali, disebarluaskan, duplikasi dari
duplikasi, mana yang pokok dan sekunder lebur dalam simulasi. Simulasi itulah
realitas dari masyarakat hiperalitas, masyarakat postmodernisme.
Masyarakat postmodernisme sebagai consumer
society, membikin kehidupan bukan lagi soal mana yang lebih utama
atau tidak. Tetapi lebih mengutamakan mana yang bisa menampakkan pada subjek,
sekalipun hal itu merupakan kebutuhan sekunder. Kebutuhan dari apa-apa yang
termaknakan dan tersimbolkan dari barang sesuatu. Sehingga barang-barang
kebutuhan sekunder menjejel masuk menjadi kebutuhan pokok yang sama pokoknya.
Nilai barang-barang yang semula ditentukan oleh kenaturalan barang sebagai
nilai guna dan kesepakatan dalam menilai nilai guna sebagai nilai tukar,
berubah menjadi nilai makna dan nilai simbol sebagai ujud kehadiran dari
apa yang dikenakan, dimakan dan tersemat pada tubuh. Lalu apa yang ia kerjakan
dan lakukan menjadi cuplikan kisah kehidupan dari kehidupan masyarakat yang
mengalami penyakit dari modernisme.
Mempertanyakan modernisme sama hal melacak
bagaimana rasionalitas sebagai tombak pusaka Abad Pertengahan nyata kini malah
menjadi permasalahan pasca-modern. Modernisme digadang-gadang sebagai usaha
manusia untuk keluar dari kungkungan dogmatisme ajaran, justru membawa
patologi. Rasionalitas membawa kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi
pada sisi yang lain berbalik arah, menjadikan manusia kian terjerat proses
produksi. Kegemilangan modernisme yang menghantarkan pada pencapaian seluruh
kebutuhan kehidupan, sedemikian itu juga menjebak manusia termasuk bagian dari
modus operandi produksi. Memaksa untuk tunduk dengan keadaan. Nikmati apa saja
yang ada dan tersedia. Silahkan. Berbelanja di shopping mall, kongkow-kongkow
lebih asik ketimbang memikirkan korupsi, tetangga miskin dan lainnya.
Medhy Aginda Hidayat, “Menggugat Modernitas:
...” penulis buku ini sebenarnya bukan saja menghantarkan pada “...Pemikiran
Postmodernisme Jean Baurdrillard.” Tetapi juga rentetan dalam tubuh modernisme.
Menggambarjelaskan rentang sejarah dari Miletos, Yunani, hingga Las Vegas, USA
(BAB I). Perkembangan sejarah masyarakat, bagi Baurdrillard, berbeda dengan
periodisasi Marx: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat
komunis. Menjadi masyarakat primitif, hirarkis dan masyarakat massa. (hlm. 13).
Masyarakat massa ditengarahi akibat ‘revolusi’ media dalam menyumbang makna dan
simbol. Makna dan simbol itu yang kemudian di konsumsi, jadi bukan lagi
penghidupan, sandang, pangan dan papan. Melacak akar modernisme dan
postmodernisme (BAB II) membawa pada keadaan kebudayaan masyarakat Barat. Kebudayaan
Barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, dunia yang
terbentuk dari hubungan pelbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi
rasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta
melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses
reproduksi. Distingsi mana yang real, yang asli, yang palsu, yang semu menjadi
kabur. Kesatuan inilah yang disebut Baurdrillard sebagai simulakra atau
simulakrum. Sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda,
citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulakra itu
sendiri. (hlm. 55). “...Rentang Pemikiran...” yang tersusun dari sebuah upaya
untuk menginventarisasi pemikiran Baurdrillard membawa serta di dalamnya pada
pokok beragam pemikiran tokoh-tokoh lain.
Adalah Jean Francois Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), menjadi acuan kunci
dalam memahami masyarakat postmodern. Berikut juga seperti semiologi Saussure,
fetisime komoditas Marx, teori differance Derrida, mitologi Barthes
serta genealogi Foucault. Dengan mengambil alih dan mengembangkan gagasan para
pendahulunya itu, Baurdrillard dalam Simulations (1983) menggambarkan
kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam
dunia simulakra, simulakrum dan simulasi. (hlm. 73). Analogi mengenai simulasi
seperti peta. Namun peta yang dibuat lebih dulu, tanpa memandang dimana
gambaran peta yang timbul merupakan kondisi sebuah wilayah. Jadi, guratan
gambar tanpa acuan pada sebuah peta terbentuk terlebih dulu, baru kemudian
wilayah yang dipetakan benar seperti adanya pada peta. Dengan kata lain,
bayangan wujud itu lebih dulu dan membentuk, ketimbang real-realitas. Dalam
bahasa Baudrillard “...Teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau
membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan
simulakra petalah yang membentuk teritori...” (Baudrillard, 1983: 32).
Kebudayaan postmodernisme sebagai gambaran
dari perkembangan kapitalisme lanjut, penggerak realitas bukan lagi pada
produksi sebagaimana pemikiran Marx, yakni nilai guna dan nilai tukar. Tetapi
konsumsi sebagai faktor dominan yang menggerakkan, menjadi nilai tanda dan
nilai simbol. Sebagai objek konsumsi berupa komoditas, menjalar ‘berkat’ capaian
era modern, ilmu pengetahuan dan teknologinya. Semua mampu dikalkulasikan,
direifikasi oleh capaian era modern itu. Lewat “televisi, film, iklan,
Doraemon, Mickey Mouse, Disneyland, Las Vegas, Beverly Hills, Universal Studio,
kini menjadi model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam
kehidupan sosial, budaya, politik masyarakat dewasa ini.” (Piliang, 1998: 194).
Semua coba dikemas menjadi tontonan yang menghibur, menarik, sekaligus juga
mengajak. Di sana ada nilai etis yang diajarkan, kebijaksaan, kesempurnaan,
kepahlawanan bahkan kebaikan. Semua diformat sedemikian rupa, agar seperti yang
ditonton dan yang digambarkan, itulah realitas.
Dalam masyarakat kita, juga mengindikasikan
hal yang sama. Menjamurkan shopping mall, budaya K-Pop. TMII, Taman
Impian, Dufan di Jakarta. Studio milik salah satu televisi Nasional di Bandung
dan Makassar. Taman Pintar di Yogyakarta. XXI, Selebriti, Infotaiment, semua
menawarkan hal serupa. Citra-citra yang terpancar dari simulasi itu adalah
gelombang massa. Budaya massa, budaya populer muncul kepermukaan. Menggerakkan
realitas (simulasi) mengidamkan seperti adagium ‘kecil disuka, muda
terkenal, tua kaya raya, mati masuk surga.’ Postmodernisme sebagai daya dobrak
modernisme menunculkan pula term, kosa kata baru yang (me)njelimet(kan).
Silang sengkarut, berkelindan, tanda, citra, kode, simulakra/simulakrum,
simulasi, petanda (signified), penanda (signifier) adalah
beberapa diantaranya. Pemaknaan atas term, kosa kata itu semuanya kini terlibat
pada aktifitas keseharian masyarakat hiperealitas, sejumput realitas tanpa
acuan, tanpa rujukan, tanpa asal usul.
Nur Wahid** Alumnus UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakara -Dimuat pada Majalah Basis, edisi DUA BULANAN, NOMOR.03-04, TAHUN KE-62,
2013
0 komentar:
Posting Komentar