M. Sya'roni Rofii |
”Ketika akan
menyelesaikan masalah, mungkin masyarakat kita ajak menyanyi dulu”
Saya lupa kapan persisnya
mendengar ucapan di atas, tetapi begitulah kira-kira gambaran komentar yang
keluar dari mulut seorang Saiful Jamil, salah seorang penyanyi dangdut yang
hendak mencalonkan diri sebagai salah seorang pasangan bupati-wakil bupati di salah
satu daerah di Indonesia. Saya juga lupa, komentar itu disampaikan kepada
wartawan untuk konsumsi berita gosip atau berita politik, sebab belakangan ada
kecenderungan untuk mencampur adukkan antara berita menyangkut pribadi artis
dengan profesinya sebagai politisi--atau artis yang hampir menjadi politisi.
Julia Perez yang tadinya dikenal
banyak orang dari berita-berita gosip sebagai artis dengan pakaian seksi,
bertalenta penyanyi dangdut, Disc
Jockey (DJ) untuk
diskotik-diskotik, pacar pemain asing yang bermain di Liga Indonesia. Tiba-tiba
wanita yang akrab disapa Jupe itu muncul di Pacitan dalam kapasitas sebagai
salah seorang kandidat calon wakil bupati, konon sikap Jupe itu sebagai respon
atas tawaran sejumlah pimpinan partai politik di daerah itu. Sebelumnya
terdapat nama-nama artis yang meramaikan bursa calon bupati di daerah tempat
kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Selain Saiful Jamil, Julia
Perez, ada juga salah satu nama yang tidak kalah heboh, yakni Maria Eva (ME).
Publik barangkali familier dengan nama ini, ME adalah sosok artis yang pernah
menjadi sorotan media massa lantaran skandal seks bersama salah seorang
politisi salah satu partai besar di Indonesia berinisial YZ. ME juga mencoba
mencalonkan diri dalam bursa pemilihan calon kepala daerah.
Sebenarnya bukan kali ini saja
persoalan artis mengemuka dalam wacana publik, berkali-kali wacana ini muncul
tetapi pada saat bersamaan ia juga tenggelam. Kita bisa melihat fenomena itu ketika
pemilihan anggota legislatif 2009 lalu, dimana sejumlah artis turun dari
panggung keartisan ke panggung politik, masyarakat meresponnya bermacam-macam,
respon itu secara matematis tentu saja bisa diukur dengan seberapa besar suara
yang diperoleh si artis di dapil masing-masing.
Artis. Jika merujuk kepada
istilah bahasa adalah orang-orang yang bekerja pada bidang seni, entertainment
dan itu bisa bervariasi: ada penyanyi, pemain film, pemain sinetron, pemain
teater, dll. Dan undang-undang tidak pernah mencantumkan profesi ini sebagai
sesuatu yang menghalangi hak seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam panggung
politik.
Namun demikian, ada beberapa
catatan yang perlu kita sematkan dalam melihat perosalan ini. Pertama, kita
tidak hendak mempersoalkan latar belakang seseorang, tetapi yang hendak kita
soroti adalah bahwa ada kecenderungan beberapa artis yang tengah turun
popularitasnya mencari peruntungan melalui jalur politik, seakan politik
menjadi tempat mempensiunkan diri setelah dunia keartisan tidak lagi bersahabat
dengan mereka. Sehingga hal ini tentu saja menjadi preseden buruk bagi proses
tata kelola pemerintahan kedepan.
Kedua, terkait gaya hidup,
bisakah mereka, para artis, dengan gaya hidup seperti yang sering ditampilkan
media massa (dalam hal ini berita gosip), identik dengan dunia glamour,
pragmatis, pendapatan berdasarkan kontrak kerja dan seterusnya. Sanggupkah
mereka ketika tiba-tiba bertransformasi dengan lingkungan pejabat publik atau
pejabat negara yang sarat dengan intrik politik, kepandaian menguasai masa,
mengelola sekian banyak konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan
di tempat mereka memerintah.
Ketiga, kondisi seperti ini
tidak terlepas dari peran partai politik. Kita khawatir partai politik
menjadikan delegasi otoritas dari UU yang ada sebagai komoditas yang
diperjual-belikan kepada mereka yang memiliki kemampuan finansial (dalam kasus
ini adalah artis). Kondisi seperti ini menandakan bahwa proses kaderisasi di
partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya, jika kondisi ini terus
menerus dibiarkan maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa partai politik
yang seharusnya menjadi instrument mulia dalam mengelola negara berubah fungsi
menjadi sekedar kantor berbadan hukum yang bersedia menerima pendaftaran
calon-calon yang memiliki uang dan tidak bagi mereka yang memiliki wawasan dan
kecakapan untuk memimpin.
Keempat, dalam banyak kesempatan
beberapa artis juga mengumpamakan diri mereka seperti fenomena terpilihnya
Arnold Swaznieger sebagai gubernur Calfornia, tetapi yang perlu menjadi catatan
adalah bahwa proses rekrutmen Arnold didasarkan pada kapasitas intelektual dan
kecakapan dalam memimpin, pada saat yang sama partai setempat memiliki
mekanisme kontrol dalam proses rekrutmen calon.
Tetapi, jika para artis
berasalan ingin maju menjadi calon pemipin di sebuah daerah dengan alasan ingin
memberikan kontribusi bagi masyarakat, tentu hal ini sangatlah tidak tepat,
alangkah baiknya kalau niat baik untuk mengabdi kepada masyarakat itu tidak
menggunakan jalur politik, sebab masih banyak jalan lain yang lebih baik untuk
berbuat kebajikan di negeri ini, semisal mendirikan yayasan sosial, panti
asuhan, mendirikan sekolah gratis, lembaga pemberdayaan masyarakat kecil
menegah seperti altruisme yang dipilih beberapa aktris Hollywood. Apabila terus
”nekat” mencalonkan diri, maka keputusan ada di tangan pemilih, kecedasan
masyarakat ditentukan di sini, sebab masyakat yang cerdas tentu tidak ingin
dipimpin oleh mereka yang tidak memiliki kecakapan dalam memimpin, cacat secara
moral—sebab moralitas identik dengan kharisma pemimpin--dan parameter itu
paling tidak bisa diukur dari track
reccord siapapun calon itu.
Dan, akhir kata, tentu saja
dalam memimpin sebuah daerah tidak sesederhana menyanyikan sebuah lagu dangdut.
M. Sya'roni Rofii* Mahasiswa pascasarjana
Hubungan Internasional, Fisipol UGM. Pengurus HMI Komisariat Fakultas Syari'ah.
Periode 2006-2008 M
0 komentar:
Posting Komentar