Rumah Makan "Harga Mahasiswa"


Hari Minggu sore tanggal 17/10, saya, harun dan Rusdy berkumpul dikantrakan. Sambil nonton TV, yang pada waktu itu kami belum makan sejak pagi (maklum, mahasiswa rantau, hehe) ngobrol tanpa tema, mulai dari ngomongin HMI, kampus, bola, cewek, dan banyak lagi yang lainnya.
Sesaat setelah shalat maghrib,dikamar, saya ketawa sendri mengingat apa yang diobrolin sama mereka sore itu. Karena setelah di ingat-ingat ternyata apapun yang dibicarakan waktu itu, ujung-ujungnya pasti masalah makan. Ketika ada 1 diantara kami yang tidak sependapat, terlontar sindiran dari yang lain " ini pasti karena belum makan"., atau kalau ngga' yang terlontar "Bosokkk"...
Berbicara masalah makanan, muncul pertanyaan dalam benak saya : kenapa banyak warung makan bertuliskan embel-embel "harga Mahasiswa/pelajar"?  kenapa tidak ada yang berembel-embel "harga petani, harga tukan becak, harga sopir, harga pengamin, harga dosen, harga guru, harga penyanyi, atau harga-harga yang lain"? Kenapa mesti harga mahasiswa/pelajar?
Belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan diatas, saya jadi teringat pernyataan Kal Mark yang saya dengar dari dari dosen saya "setiap perbuatan seseorang ditentukan oleh perutnya". Benar,,,! urusan perut memang  bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja, karena perutlah, terjadi revolusi, demonstrasi, renaissance, pemberontakan, dan lain-lain. Itu jika kita sepakat dengan pendapat Kal Mark, yang sering dikenal sebagai tokoh materialisme.
Jika, pernyataan Kal Mark tersebut dihubungkan dengan pertanyaan diatas, kita menemukan jawaba. Keputusan, warung makan untuk mencantumkan istilah "harga mahasiswa/pelajar" mungkin karena hanya mahasiswa/pelajar-lah yang perutnya tidak pernah stabil, lantaran mereka belum punya penghasilan. Apalagi mahasiswa rantau, yang disinggung dalam sebuah lagu, "senin makan, selasa puasa, rabu ngutang, kamis dibayar, jumat baru makan lagi",. Pengamin, petani, tukan becak, sopir, dan yang lainnya meski juga pernah merasa kelaparan tapi tetap berbeda dengan mahasiswa, mereka oleh warung makan mungkin dianggap sudah memiliki profesi dan penghasilan.
Sebenarnya jika mau direnungkan, menurut saya, tukang warung memakai istilah "harga Mahasiswa/pelajar" karena mahasiswal/pelajar-lah yang dianggap paling tepat mewakili orang fakir/miskin,  keduanya sama-sama sering tidak bisa memenuhi kebutuhannya, terutama urusan perut. hanya saja pihak warung mungkin merasa kurang sopan jika menggunakan istilah "Harga Orang Fakir/Miskin". Dan sebenarnya, penggunaan istilah "Harga Mahasiswa/pelajar" memberi kesan bahwa warung makan itu bisa dijangkau oleh berbagai kalangan, khususnya kalangan mayoritas dinegeri ini yakni orang-orang fakir/miskin. (meski kenyataannya tidak demikian...hehe)
Meski saya tidak sepenuhnya setuju dengan Karl Mark, tapi realitas yang demikian sangat sering saya saksikan. Tidak sedikit orang yang berprilaku menyimpang dari kodradnya hanya karena kelaparan seperti: mencuri, menipu, bahkan orang menjadi pelacur pun mungkin tidak sedikit yang beralasan karena untuk memenuhi tuntuan perutnya. Hanya saja, jika memang Kal Mark mengatakan demikian, mungkin akan mendapatkan tidak terlalu banyak kritik dan akan lebih tepat jika pernyataan itu direvisi menjadi "tidak sedikit perbuatan manusia  yang  dilakukan hanya karena tuntutan perutnya". Dengan demikian, mungkin tidak akan terlontar sebagaiamana kritik ali Syari'ati kepada Kal Mark: "kesalahan besar Mark ialah karena ia mengatakan bahwa hakikatnya manusia adalah insan materialisme, dimana setiap perbuatannya dilakukan hanya karena alasan materi atau tuntutan perut. Padahal realitasnya, banyak, orang yang perbuatannya didasarkan atas alasan lain,orang yang berdemonstrasi, unjuk rasa, dan yang lainnya, tidak sedikit dari orang-orang yang sudah biasa hidup mewah dan kebutuhan perutnya sudah terpenuhi."..(sudr./ptkm).


0 komentar:

Posting Komentar

 
Click Here