Epistemik Pluralisme ataukah Pluralistik Epistemologi?


Berbicara mengenai tradisi intelektualitas di HMI saya bertanya-tanya, dimana dasar ontologisnya? Dengan kata lain kita akan bertanya, darimana tradisi tersebut berdasar? Mengapa HMI selalu ingin meyatakan diri sebagai organisasi mahasiswa yang menekankan tradisi intelektual?
Tentu tidak salah jika menjawab pertanyaan tersebut dengan merujuk kembali pada tujuan awal HMI, membentuk insan ulul albab yang antara lain memiliki kualifikasi memiliki ilmu dan hikmah dan diejawantahkan sebagaiagent mujtahid, muabbid, mujahid, dll. Karakter ini menghendaki adanya ruang bebas dan memadai bagi kader untuk mengekspresikan daya kreatifitas intelektual mereka. Disinilah dasar ontologis bekerja.
Selanjutnya, tradisi ini juga menghendaki sifat aplikatif, karena pertama: mahasiswa yang kreatif tidak akan begitu saja menerima situasi kemapanan yang mereka dapatkan. Tapi dalam waktu yang sama ia mereka juga memiliki orientasi jauh kedepan atas makna perjuangan dan perkaderan yang menjadi ciri dari HMI sebagai sebuah organ. Untuk itulah, tradisi intelektualitas harus tercipta. Kedua, HMI sejak awal memposisikan diri sebagai daya kritik bagi lingkungan dimana ia berada. (Kasus Pancasila sebagai azas tunggal dapat dijadikan contoh dalam hal ini, HMI-MPO menolak azas tunggal bukan semata-mata karena nilai yang dikandung Pancasila, tetapi karena Orde Baru telah melakukan pemaksaan atas kebebasan intelektual dan ideologi terhadap rakyat). Daya kritik HMI menghendaki adanya ruang dialog dan dialektika yang kontinyu dan membutuhkan daya dukung milleu dan fasilitas yang memadai (komunitas kecil, perpustakaan, training dan pelatihan, dll).
SEJARAH KEMAJEMUKAN HMI
Hanya saja, pandangan normatif diatas tidak lah mudah untuk dijalankan. Pun, bila aktifitas telah menjadi budaya di HMI, tidak kalah pentingnya adalah masalah keterjebakan terhadap rutinitas di HMI seperti pelatihan kader (LK I, LKII, dll) yang hanya bersifat formalistik nir-visioner. Karenanya, dapat kita rumuskan kemungkinan masalah yang mungkin kita hadapi dari strategi bagi tradisi intelektualitas yang dinamis adalah kendala epistemik dan kendala strategik-praksis. Bagaimana persoalan ini bisa dijelaskan? Sejarah HMI-MPO dapat menjadi gambaran dari persoalan ini.
Perjalanan HMI-MPO sejak dua dekade (80an-2000an) telah mengalami perkembangan  yang signifikan (dari segi kultur, orientasi, bahkan yang lebih terlihat adalah strategi gerakan). Mulai dari gerakan bawah tanah, gerakan intelektual-radikal, hingga sekarang sebagai organ yang terbuka (inklusif). Jelas terjadi pergeseran epistemik-strategik yang mencakup latar belakang pemikiran, metode strategi gerakan, bahkan juga tafsir atas nilai perjuangan. Pergeseran itu terlihat, misalny, di fase pertama(era 86-90) HMI-MPO cenderung eksklusif-defensif, menguatkan diri pada pengembangan intlektualitas (tafsir atas Islam) an sich, gerakannya berupa kelompok kecil sporadis seperti khalaqah dan jama’ah, menguasai LDK, afsir nilai gerakan diarahkan murni mengimplementasikan ajaran Al-Qur’an, maka masyarakat islami adalah cita-cita mutlak HMI saat itu. 
Fase Kedua (era 90-97) HMI-MPO hadir dengan model gerakan yang lebih berani dan terbuka untuk mengemukakan pendapat, aktif mengkritik kebijakan pemerintah, bahkan dengan jelas memperlihatkan sikap konfrontatif terhadap pemerintah, sehingga orientasi nilai perjuangan lebih spesifik, turut serta mengimplementasikan nilai-nilai universal Islam di dalam kehidupan bernegara (menjadikan Indonesia yang berlandaskan nilai Islam). Fase ketiga, (era 98-sekarang) HMI-MPO sudah sangat terbuka, posisinya pun sama dengan organ lain karena pemerintah tidak lagi mengontrol azas dan perjuangan organ-mahasiswa secara ketat. Disana-sini mulai muncul kedekatan hubungan HMI-MPO dengan pemerintah ataupun lembaga sosial kemasyarakatan (seperti aktifitas para relawan bencana HMI-MPO). Harus diakui pula, terdapat penurunan pada fokus intelektualitas karena dihadapkan pada strategi gerakan yang lebih praksis-pragmatis. Bahkan kita juga menemukan variasi atas tafsir dari nilai perjuangan (yang terakhir ini dapat dilihat dari beragamnya kultur MPO di berbagai cabang yang tersebar).
Kemajemukan  di dalam tubuh HMI-MPO sudah menjadi fakta tak terbantahkan. Karena di saat ini pula, karakter ketiga fase HMI bertemu menjadi satu. Tidak heran bila terkadang kader mengalami kegamangan orientasi, karena sepertinya kita kehilangan jejak arah, kemana orientasi gerakan diarahkan? Apa pula karakter HMI-MPO yang dapat diandalkan? Intelektualitas, politik, aktifitas organik secara langsung bersama-sama masyarakat? Barangkali terlalu sulit memang menyebutkan satu-persatu, karena kesemuanya itupun terangkum dalam aktifitas gerakan di HMI saat ini.
EPISTEME KEMAJEMUKAN
Barangkali tidak salah bila seorang berujar, ”HMI terlalu kaya dengan nama besar dan sejarahnya!”.Hanya saja, terlalu naif bila kemudian kita hanya terjerumus pada kubang romantisme sejarah itu. Sebaliknya, seperti Benedic Anderson yang menggaungkan ide imagine community, maka nama besar dan sejarah itu harus digali spiritnya untuk direvitalisasikan di era kontemporer ini.
Sebagai sebuah gagasan, tulisan ini tidak akan arogan untuk menentukan satu strategi gerakan yangmonolog. Melainkan orientasi dari tulisan ini untuk memberi kerangka akan pentingnya memahami kemajemukan yang kini dijumpai di HMI, serta bagaimana cara menghadapinya.
Pertama, adalah penting untuk memahami bahwa kemajemukan di HMI saat ini bukanlah (meminjam kosakata Thomas S. Kuhn) suatu anomi di dalam dinamika kesejarahan. Andaikan sebuah puzzle maka setiap keping justru akan membentuk kepribadian dan karakter dari sebuah gerakan.
Kedua, lalu bagaimana seharusnya kader melihat dan mensikapi perbedaan ini? Setidaknya diperlukan suatu pemikiran yang radikal dan akseleratif untuk mendapatkan solusinya, yakni dengan cara membenahi framework berfikir kita. Hal ini tentu tidak mudah, karena di satu sisi kerja metodologik seperti ini biasanya hanya menjadi konsumsi kaum minoritas dari kader saja. Sementara disisi lain kita tahu kerja menumbuhkan framework itu berkait erat dengan budaya yang pada umumnya membutuhkan waktu yang lama dan kerja intensif bersama. Sedangkan disaat yang sama HMI dihadapkan pada tantangan eksternal yang mengharuskan kita selalu hadir didepan, menjadi pengususng perubahan yang tentu saja memiliki intuisi-imajinatif akan perubahan yang tinggi. Sekali lagi, kerja menumbuhkan framework adalah persoalan will, kemauan bersama dari jama’ah.
Berkenaan dengan cara menghadapi perbedaan, ada dua gagasan epistemik:
1.     Epistemik Pluralisme
Gagasan dasarnya yakni, menjadikan pluralisme  (nilai yang mengimani kejamakan sebagai sebuah fitrah yang harus diakui) sebagai madzhab yang dipakai dalam proses menciptakan tradisi intelektualitas. Di dalam gagasan ini ke-jamakan menjadi pegangan kuat dalam berfikir dan konsekuensinya, berbeda adalah suatu keharusan. Dengan kata lain, tindakan menyalahkan, mengutuk atau mendiskriminasi perbedaan adalah perbuatan dosa. Hanya saja, secara praksis gagasan ini lebih terlihat sebagai madzhab ”asal beda” dan kurang menekankan pada pentingnya suatu tindakan/berfikir.
1.     Pluralistik Epistemologi
Kebalikan dari gagasan pertama, pluralistik epistemologi pada dasarnya adalah mengembangkan nalar berfikir yang mengakui adanya potensi kemajemukan di dalam aktiitas intelektual. Pada tataran praksis, pluralistik epistemologi sadar betul bahwa di dalam menjelaskan tentang sesuatu (khittoh, GBRO, dll) terdapat kemungkinan perbedaan dan selanjutnya menghargai adanya perbedaan tersebut. Bedanya dengan gagasan pertama, pluralistik epistemologi tidak mengedepankan perbedaan itu, melainkan mengakomodasi dan menyadari kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan di dalam proses berfikir dan aktifitas intelektualitas ataupun aktifitas perkaderan. Dan kebenaran bersama adalah hal yang diutamakan oleh gagasan ini. Konsekuensinya, perbedaan-perbedaan bisa diakomodir, didialogkan, bisa integratif. Tidak ada salah benar di dalam framework ini, tetapi bagaimana caranya untuk mendapatkan kebenaran bersama.
Bagaimanapun juga, HMI-MPO lahir dari ketidakberdayaan (internal) organ untuk meramu kemajemukan berfikir, ditambah faktor eksternal yang turut mengkristalkan perbedaan pendapat. Peristiwa sejarah seperti ini meninggalkan efek psikologis yang luar biasa, bahkan seringkali diturunakan dari generasi ke generasi. Belajar dari sejarah yang ternyata yang –menurut saya- juga disertai ”ghibah gerakan”   maka sedini mungkin kader HMI menyadari kemajemukan adalah kasil kreatif dari tradisi kebebasan berfikir di HMI. Thus, sebagai organisasi mahasiswa yang  menekankan tradisi pengembangan intelektualitas, HMI harus mampu membaca daya letup HMI sebagai pioner bagi kemajuan dan anti kemapanan. Kembali menyitir visi salah satu founding fathernya, HMI dan kekayaan intelektualitasnya bertugas untuk mengiring proses Indonesia yg islami dan mewarnai Islam yang a laindonesia. Wallahu a’lam bis shawab
Oleh: Subhani Kusuma Dewi. Penulis staff Team Teaching Filsafat Ilmu, Fak. Ilmu Sosial Humaniora UIN Suka, mantan Ketua Komfak Ushuluddin UIN Suka 2003, dan Staff Litbang Cabang Yogya 2005, tinggal di Yogyakarta. dikuti dari pbhminews Saturday, 25 June 2011 05:45 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Click Here